Arab Pegon dan Islam Nusantara | Fairuzul Mumtaz

Ramadan merupakan bulan puncak dari perayaan keislaman masyarakat di Indonesia. Berbagai aksesori bertebaran, mulai dari pernak-pernik fashion, kuliner bahkan ibadah pun menjadi sebuah event pengisi perayaan. Di jalanan, di masjid, mal, sosial media, nyaris seluruh aksesori itu di-mark up dan di-make up seperti sebuah festival.  Sementara lebaran tak ubahnya ritual yang setiap tahun diulang, semacam prosesi penutupan festival. Sebab itulah kita kerap mendengar celetukan, “Lebaran tahun ini tak seramai dulu”.

Jika Ramadan adalah festival, mestinya digelar praevent atau rangkaian acara penyambutan perayaan. Tapi kita tak pernah menemukannya di tempat-tempat yang ramai khalayak. Sebenarnya, dengan menggelar praevent tentu akan lebih terasa makna dan keterlibatan seseorang pada perayaan itu. Jika tidak, kita hanya menjadi penonton atau pengunjung perayaan, dan menjadikan puasa  sebagai tiketnya. Tapi kadang masih banyak juga yang nyelonong tanpa tiket.

Praevent ini bisa dilakukan secara personal maupun komunal. Salah satu yang diselenggarakan secara komunal dapat kita temukan di tempat-tempat jauh dari keriuhan dan tak diriuhkan. Ialah pondok pesantren.

Dua bulan menjelang Ramadan, masyarakat pondok pesantren sudah menggelar berbagai event dan terus-menerus hingga tersambung pada bulan suci. Rajab, Sya’ban, Ramadan. Ketiga bulan ini kemudian disempurnakan oleh Syawal.

“Bulan Rajab bulannya Allah, dan bulan Sya’ban adalah bulanku.” Begitulah bunyi kutipan hadits dari kitab Jami’ush Shoghir. Dan tentu saja, Ramadan adalah bulan seluruh umat untuk kemudian memasuki babakan baru pada bulan Syawal.

Sepaham dengan hadist di atas, masyarakat pesantren menggelar Rajaban. Meski tak sepadat di bulan Ramadan, kegiatan Rajaban sama seperti di bulannya Allah itu, tanpa tarawih. Mereka berpuasa, mengaji kitab-kitab klasik, serta qiyamul lail.

Menarik bagi saya adalah mengaji kitab-kitab klasik atau kitab kuning. Selain untuk menyerap ilmu-limunya, ngaji seperti ini perlu diniatkan ittiba’ (mengikuti) kepada para ulama. Inilah yang menjadi pembeda masyarakat pesantren dengan yang lainnya. Menjadi follower guru dan ulama menjadi hal utama. Sebab, seperti diterangkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim bahwa menghormati ilmu dan ahlinya (guru serta ulama) merupakan pintu masuknya pengetahuan ke dalam diri seseorang. Ilmu yang dimaksud juga yang dalam bentuk fisik seperti buku dan kitab.

Kitab kuning yang dikaji dalam Rajaban cenderung kitab-kitab tipis dan sederhana. Berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, akhlak, tauhid, fiqh, hadist, kisah-kisah di masa lalu dan lain sebagainya. Biasanya, kitab-kitab para santri saat Rajaban akan terisi penuh dengan pemberian makna berupa Arab Pegon.

Dalam teknisnya, para santri tak sembarangan dalam memilih pulpen. Di masa lalu, pemberian makna pada kitab kuning menggunakan mata pena dengan tinta China, namun sekarang telah beralih menggunakan pulpen bermata kecil seperti digunakan para arsitektur. Ya, memang harus kecil, karena jarak antarbaris dalam kitab kuning atau kitab gundul cukup rapat, tidak lebih satu setengah line spacing dalam komputer.

Model mengaji atau pembelajaran di pesantren seperti ini biasa disebut dengan istilah bandongan. Model ini mudah kita temukan di berbagai tempat, bahkan di sekolah formal, yaitu kiai membacakan kitab dan santri memberi makna pada kitab dengan huruf Arab Pegon, tulisan Arab tetapi dengan bacaan Jawa.

Selain bandongan, model bandongan, dikenal pula istilah sorogan. Model ini mewajibkan santri mencari arti dan makna sendiri, lalu dibacakan di depan kiai. Biasanya, santri akan sorogan dengan kitab yang sebelumnya pernah ia kaji secara bandongan. Ngaji dengan model sorogan adalah setingkat lebih tinggi dari bandongan.

Sorogan merupakan model pembelajaran di pondok pesantren yang sudah mengakar. Baik mengakar di pesantren, maupun mengakar dalam diri santri. Bagaimana tidak, sorogan memiliki empat tahap yang harus ditempuh santri. Pertama, menguasai mufrodat (kosa kata) beserta tata bahasa (nahwu dan sorof). Kedua mencari, memberi dan menghafal makna pada kitab kosong. Ketiga, mendaras dan menghafalkannya hingga lancar saat—keempat, membacakannya secara face to face di depan guru. Kelima, memberikan penjelasan pada bagian yang dibacakan. Di bagian terakhir ini, santri dituntut harus bisa menjelaskan pada orang lain, dalam hal ini guru. Tak jarang guru akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang kontekstual. Pada kasus saya, K.H. Hilmi Muhammad (Pengasuh Ponpes Krapyak Yogyakarta), guru besar saya, menambahkan tugas tasrif (pelajaran sorof dengan metode Krapyak).

Model pembelajaran di atas hanya ditemukan di pesantren. Meski terkesan klasik, namun model ini tak lekang zaman. Sedangkan sekarang, teknologi informasi yang sangat canggih dengan sistem save and share menjadi pilihan mutakhir. Orang tak lagi mengandalkan ingatan, hanya perlu mengetik kata kunci lalu kebutuhannya atas teks dan wacana bisa dibaca. Tetapi perlu diingat, yang canggih adalah teknologinya, bukan orangnya. Maka tak berlebihan kiranya jika sorogan dapat menjadi salah satu model dalam menerapkan pendidikan karakter pada santri dan bisa diterapkan lebih luas lagi.

Selain itu, model pembelajaran di pondok pesantren ini juga menjadi satu model aplikatif dalam mengartikulasikan Islam Nusantara, selain pondok pesantren itu sendiri. Isu ini muncul sebagai respon sekelompok umat Islam radikal yang membawa tradisi Arab dalam kultur Islam di Indonesia. Dalam perkembangnnya, Islam Nusantara menjadi suatu gerakan kultural keagamaan yang kuat dengan aktor utama masyarakat Nahdliyin. Lebih kuat lagi, K.H. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Islam Nusantara telah menjadi sistem sosial, lembaga pendidikan dan sistem kesultanan.

Islam Nusantara, bukanlah sesuatu yang baru di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Gus Dur mengistilahkannya dengan Pribumisasi Islam. Secara sederhana dapat disikapi sebagai upaya peleburan antara Islam dan tradisi nusantara. Budaya lokal yang dipinjam untuk menyampaikan ajaran Islam. Di dalamnya ada dialog dan negosiasi melalui tahap seleksi, akulturasi dan adaptasi sehingga Islam menjadi dinamis dan terbuka. Islam Nusantara bukan menolak Arab, melainkan menghindari Arabisasi. Pada pokok-pokok tertentu, ajaran-ajaran Islam tak bisa disampaikan melalui tradisi lokal.

Salah satu peleburan budaya dalam Islam Nusantara dapat dilihat melalui Arab Pegon, peleburan sederhana namun cerdas dari sisi bahasa. Secara tulisan terlihat seperti tulisan Arab, tetapi ketika dibaca berbunyi bahasa Jawa. Selain di Jawa, Arab Pegon juga ditemukan dalam tradisi Sunda, bahkan menyebar lebih luas lagi ke rumpun Melayu.

Di Singapura pada 1952, digelar Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu untuk pertama kalinya dan menghasilkan Piagam Congress. Bahasan utama dalam kongres tersebut adalah tentang penggunaan aksara Latin dan Arab Pegon (Rumi dan Jawi).

Pascakongres, Arab Pegon atau yang kemudian dikenal dengan Arab Melayu banyak mewarnai surat kabar pada masa itu. Arab Pegon tak lagi terbaca Jawa, melainkan Melayu. Meski mengalami pergeseran, namun bisa dilihat bahwa akulturasi Islam dan tradisi lokal di nusantara melalui bahasa dapat diterima dengan baik, bahkan menyebar hingga Brunei, Thailand dan Filipina.

Berangkat dari ilustrasi di atas, pengaruh dari sisi bahasa (Arab Pegon), pemilihan istilah Islam Nusantara menjadi sangat tepat. Gerakan Islam Nusantara bukanlah gerakan rasial yang menimbulkan fanatisme primordial, melainkan capaian identitas atas keislaman di nusantara. Capaian ini pada akhirnya tak lagi mementingkan bentuk, tetapi substansi.

Label: