Kembulan (Pengantar Katalog Pameran Kembulan 2) | A. Anzieb

Kembulan, pada umumnya diartikan sebagai makan bersama menggunakan alas dedaunan (seperti daun pisang, daun jati atau daun kelapa yang dironce) hampir banyak suku di dunia mengenal tradisi ini, termasuk suku-suku yang tersebar di Nusantara. Tradisi makan bersama ini seringkali dijadikan ritual untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan mempererat tali kekeluargaan antar sesama. Misalnya, tradisi Ngariung atau makan bersama bagi masyarakat Sunda, artinya berkumpul di dalam rumah atau di area yang cukup luas. Mereka makan bersama secara lesehan dan makanan tersebut disajikan di atas daun pisang. Atau Babancakan adalah kebiasaan masyarakat Banten (masyarakat pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutnya Bancak’an) melakukan makan bersama di atas daun pisang, dan seterusnya untuk upacara-upacara selamatan.

Kembulan atau makan bersama dalam budaya santri di lingkungan pesantren bukan semata hanya meletakkan pada konteks makan bersamanya saja, atau agar bisa saling mengenal satu sama lain, saling koreksi diri dan berbagi satu sama lain. Barangkali, kalau hanya konteks kebersamaannya saja yang dijadikan subjek utama, tentu kita akan terjebak pada paradigma Barat. Jadi, kebersamaan makan bersama dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, atau makan bersama para santri lebih sebagai jiwa, ada hubungannya dengan batin, rasa toleran, nurani dan kemanusiaan, bukan sebatas dimaknai sebagai rasa lapar, makan atau kebersamaannya yang cenderung bersifat romantic material, menjadi peristiwa sesaat yang tak berdampak.

Mengapa daun pisang, atau daun jati, atau daun kelapa yang dironce membentuk seperti layah/nampan? Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, daun pisang dan daun-daun lainnya sangat lazim dipergunakan sebagai kebutuhan kehidupan sehari-hari, termasuk pada acara-acara resmi seperti sunatan, perkawinan, kenduren, Suronan, wiwit (selamatan menjelang panen padi), krayanan (kelahiran bayi), manakiban, mauludan, slikuran (malam-malam hari ganjil puasa ramadan), nyadran, hajatan sehabis sholat Idul Fitri di langgar-langgar, dan seterusnya, dan juga untuk pembungkus banyak jenis makanan. Lain halnya dengan menggunakan plastik, meskipun memiliki kelebihan akan kekuatannya, awet, ringan, tidak mudah karatan serta dapat diberi warna, lebih praktis dan seterusnya, tetapi, plastik mengandung molekul kecil yang dapat bermigrasi ke dalam bahan makanan yang dibungkus dan menyebabkan cepatnya terjadi pembusukan. Apakah, hal demikian ini memiliki kebaikan bagi jiwa, kesehatan tubuh, dan juga terhadap alam? Atau, apakah menggunakan alat-alat plastik yang bisa melukai dan menyakiti bumi diperbolehkan? Kenapa daun pisang, daun jati atau daun kelapa yang dironce? Bukankah dalam agama-agama mengajarkan tidak memisahkan manusia dan alamnya? Bagaimana hukumnya merusak alam?

Tentu saja, sebuah kebaikan akan melahirkan kebaikan, bahkan kebaikan yang dilahirkan bakal membawa manfaat yang tak terhingga. Jika hajat makan bersama di atas daun pisang adalah suatu kebaikan untuk jiwa, mestinya tidak boleh saling melukai jiwa atau menyakiti alam. Karena itu, manusia harus selalu memperhatikan alam, merawat bumi yang menjadi tempat disuburkannya berbagai jenis makhluk yang baik, penuh kebaikan dan melahirkan segala kebaikan bagi jiwa manusia beserta alam. Bahwa alam raya dan seisinya adalah ayat-ayat agung, sumber segala pengetahuan yang mengajarkan tentang cara hidup bagi kehidupan manusia. Dan, karena itu pula Tuhan punya kehendak lewat alam dengan cara memberi penyadaran tentang alam (banjir, kekeringan, gunung meletus, gempa, tsunami, hujan, badai, ruang angkasa dan seterusnya) agar manusia selalu berada dalam kesadaran “Eling” dan bersikap sumeleh pada kehendak alam.

Pada dimensi ini Kembulan sebagai “central mind”; bukan sekedar untuk menjaga kerukunan dan kebersamaan saja, tetapi Kembulan melahirkan makna lebih (termasuk) pada kajian alat makan berupa daun pisang berikut pesan sosial, filosofi dan spiritualitasnya. Makan bersama di atas daun pisang adalah metafor atau telaah refleksi kehidupan hari ini, bahwa hal-hal kultural yang melekatkan jiwa manusia dan alam adalah ikhtiar visioner yang menurut standar masyarakat dunia dianggap tidak humanis, sehingga peradaban semacam ini ingin segera diganti dengan modernitas karena dianggap lebih manusiawi, lebih beradab, membawa kemajuan, percepatan, dan seterusnya, namun melahirkan resiko kesadaran manusia yang menjauh dari militansi, manusia yang lebih mendekatkan diri pada kehidupan duniawiah, manusia yang egoisme, manusia yang saling berkejaran dengan kekuasaan, intoleran, “amuk” dan seterusnya menjadi mulia – sebaliknya, kebaikan dihilangkan dan kalau perlu sampai tak ada bekas titiknya.

 

Label: