Mengapa Tahlilan Diterima Dan Apa Manfaatnya? | Ahmad Syaifuddin (Kader IPNU Kota Yogyakarta)

Ritual tahlilan merupakan sebuah hasil proses akulturasi antara adat Jawa dengan norma keislaman. Pada ritual ini, tidak ada yangtunduk antara yang satu dengan yang lain. Jika dikatakan Islam tunduk kepada budaya, maka pernyataan itu salah. Kedua hal tersebut, yaitu kebudayaan dan nilai keagamaan Islam, berpadu menjadi satu menjadi sebuah inovasi dalam agama Islam. Karena itu, banyak pihak yang menilai hal tersebut adalah bid’ah yang dlalâlah dan sesat sehingga pelakunya divonis akan masuk neraka. Padahal, jika ditelusuri dan dikaji secara mendalam, kontekstual, dan komprehensif, maka akan didapatkan bahwa ritual Tahlilan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari Al Quran, maupun hadits dan dasar hukum yang lain, seperti ijma’ dan qiyas. Dengan begitu, pernyataan bahwa ritual Tahlilan adalah bid’ah merupakan pernyataan yang keliru karena bid’ah adalah sesuatu hal yang tidak memiliki landasan syar’i dan tidak dikerjakan di jaman Rasulullâh Muhammad Shallallâhu ‘Alayhi Wa Sallam sedangkan ritual Tahlilan (dan ritual lainnya yang sejenis, misalkan peringatan meninggalnya seseorang pada hari ke-7, ke-40, 1 tahun, 3 tahun, dan majelis Yasinan) adalah memiliki landasan syar’i.
Meskipun banyak pihak yang ingin memberangus ritual tersebut dengan alasan yang picik dan tidak berpikir holistik (dengan memakai alasan—lagi-lagi—bid’ah), ritual Tahlilan dan sejenisnya terbukti memberikan banyak manfaat. K.H. Muhyiddin Abdusshomad, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Jember, mengemukakan setidaknya ada enam manfaat dari ritual Tahlilan tersebut.
    1. Sebagai ikhtiar (usaha) bertaubat kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal dunia.
    2. Mempererat tali persaudaraan antara sesama, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Sebab sejatinya ukhuwah Islamiyyah itu tidak terputus karena kematian.
    3. Untuk mengingat bahwa akhir dari kehidupan dunia ini adalah kematian, yang setiap jiwa tidak akan terlewati.
    4. Di tengah hiruk pikuk dunia, manusia yang selalu bergelut dengan materi tentu memerlukan dzikir (mengingat Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ). Tahlil adalah sebuah ritual yang bisa dikatakan sebagai majelis dzikir karena di dalamnya dibaca berbagai ayat Al Quran, kalimat, tahlil, kalimat shalawat Nabi, dan bacaan yang lain.
    5. Tahlil sebagai salah satu media dakwah yang efektif di dalam penyebaran agama Islam. Di dalam Tahlilan, seseorang pasti membaca kalimat Tahlil (Lâ ilâha Illâ Allâh). Bukankah dengan membaca kalimat Tahlil tersebut seseorang telah menjadi muslim? Walaupun dia masih perlu pembinaan untuk kesempurnaan imannya, akan tetapi dengan cara yang kultural ini, tanpa terasa saudara umat Islam semakin bertambah.
    6. Sebagai manifestasi dari rasa cinta sekaligus penenang hati bagi keluarga almarhum yang sedang dirundung duka cita.
Dua orang peneliti dari Unversitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Zainuddin Fananie, M.A. dan Atiqo Sabardila, M.A., mengadakan sebuah penelitian yang hasilnya kemudian diberi judul “Perspektif Keberterimaan Tahlil”. Seperti yang dikutip oleh K.H. Muhyiddin Abdusshomad, beliau berdua mengemukakan kesimpulan dari penelitian tersebut. Pertama, secara historis keberadaan tahlilan di Indonesia sudah ada jauh sebelum munculnya berbagai organisasi keagamaan, baik yang mendukung tahlilan ataupun yang menolaknya. Pada mulanya, tradisi yang sarat dengan warna tasawwuf ini dilakukan di pesantren dan keraton, namun kemudian lambat laun dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh masyarakat Indonesia sehingga menjadi tradisi keagamaan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Kedua, munculnya konflik keberterimaan tahlil oleh berbagai kelompok yang menolaknya, sebenarnya terjadi pada tingkat elit kelompok tersebut. Sementara di tingkat bawah, tradisi tahlil ini tetap dilakukan tidak hanya massa organisasi yang membolehkan tahlil, tetapi juga anggota organisasi yang membid’ahkan tahlil. Ketiga, tahlil merupakan sebuah tradisi yang memiliki dimensi ketuhanan (hablun minAllâh) yang mampu memberikan siraman rohani, ketenangan, kesejukan hati, dan peningkatan keimanan, sekaligus juga memiliki dimensi sosial (hablun minannâs) yang mampu menumbuhkan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan. Keyakinan seperti itu jelas-jelas diungkapkan oleh masyarakat muslim dari berbagai golongan baik kaum konservatif, modernis, dan abangan.
Label: