Mensiasati Keterbatasan: Strategi Perupa Perempuan Pesantren | Hairus Salim

Sekira sepuluhan tahun lalu, bersama teman-teman, saya menggagas sebuah program yang memiliki mata kegiatan yang banyak dan berdurasi panjang yang mempertemukan keragaman siswa SMU di Yogyakarta, Magelang, Solo dan Jepara. Sebagian dari mata acaranya adalah workshop menulis kreatif, membuat film, penerbitan karya, pemutaran film, kemah bersama dan lain-lain. Salah satu elemen dari kegiatan itu adalah siwa-siswi pesantren, kalangan santri-santriwati.

Dalam sesi pembuatan film, siswa-siswa yang datang dari berlatar belakang ini dibagi dalam beberapa kelompok. Setelah workshop pembuatan film, mereka diminta membuat dua buah film singkat, baik berupa film dokumentar atau pun dokudrama.

Saya lupa bagaimana rincian prosesnya, tetapi salah satu kelompok ingin membuat film dokumentasi tentang kehidupan santriwati dengan spesialisasi menghapal Alquran di sebuah pesantren. Singkat cerita, melalui proses yang agak rumit bercampur dengan banyak kejadian menggelikan, jadilah sebuah film dokumenter yang amat menarik: judulnya Tahfizd.

Film itu mengangkat kehidupan sehari-hari para santriwati di sebuah pesantren di selatan kota Yogyakarta dalam sebuah kompleks asrama yang tidak terlalu luas, hampir tak ada taman, dan dengan penghuni yang cukup padat. Setiap dini hari sekira pukul 03.00 mereka harus bangun untuk sembahyang tahajud dan menghapal Alquran hingga fajar tiba. Setelah itu, mandi dan sarapan, mereka sambung dengan pergi ke sekolah atau ke kampus bagi yang statusnya mahasiswa. Sepulang sekolah formal, mereka kembali ke asrama, dan memulai lagi rutinitas sebagai santri: mengikuti pengajian dan memperkuat hapalan Alquran, selain tentu saja tetap harus mengerjakan PR tuntutan sebagai siswa/mahasiswa di pendidikan formal.
Film ini diputar di berbagai tempat dan beroleh aspresiasi yang tinggi. Bahkan menyabet beberapa penghargaan dalam ajang kompetisi film dokumenter indie yang marak saat itu. Para penonton, yang kebanyakan remaja, senantiasa tertegun dan melongo seusai menyaksikannya. Rupanya mereka tak pernah sama sekali membayangkan ada kehidupan remaja seusia mereka yang demikian: tinggal di asrama yang tampak umpek-umpekan, bangun dini hari untuk menghapal Alquran, siangnya belajar di sekolah umum, dan kemudian kembali lagi ke pesantren dengan jadwal yang ketat, sehingga jika dilanggar mereka akan mendapatkan hukuman (ta’zir).

Poster pameran

Sebagian remaja non-pesantren menyaksikan film dokumentasi itu dengan perasaan heran, aneh sekaligus kagum. Lebih-lebih salah satu sosok yang ditampilkan dalam film itu adalah seorang mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional (HI) sebuah universitas swasta dengan hapalan Alquran yang mantap dan kemampuan bahasa Inggris yang bagus. Kelak memang remaja ini melanjutkan kuliahnya ke Australia dan berkarir di lembaga internasional. Para remaja itu bertanya-tanya: Bagaimana bisa ada remaja yang hidup di asrama dengan peraturan ketat seperti itu? Bagaimana mereka bisa kuat bangun setiap dini hari? Bagaimana mereka bisa sekolah pada siang hari dan menghapal Quran pada sisa hari lainnya? Dan sederatan pertanyaan heran lainnya.

Saya ingat film ini, dan segala sesuatu yang bertaut dengannya, ketika bertemu dan bersua dengan kelompok yang menamakan dirinya ‘perupa perempuan pesantren’. Tiga identitas bertemu dan bersilangan di sini: santri, perempuan, perupa. Jika “perempuan pesantren” atau santriwati saja telah membuat dahi orang luar berkerut, mulut melongo, dan mata terpana, bagaimana lagi dengan tambahan identitas baru sebagai ‘perupa’: ‘perupa perempuan pesantren?’ Siapa mereka? Apakah mereka benar-benar santriwati yang sekaligus perupa, atau perupa yang sekaligus santriwati?

Kini harus ditegaskan mereka memang perupa perempuan pesantren. Mereka adalah para santriwati, dalam pengertian yang harfiah, mereka belajar dan sehari-hari tinggal di pesantren. Tetapi mereka juga para mahasiswa seni dan sekaligus menekuni dunia kesenian, khususnya seni rupa. Identitas perupa perempuan pesantren dengan demikian bukan merupakan isapan jempol.

Tentu saja tak mudah membayangkan bagaimana para perupa perempuan ini menjalani kehidupan dan kegiatan sehari-hari mereka di pesantren sebagai santri sekaligus sebagai seniman. Bagaimana bisa eksis jika setiap sudut ruangan mereka harus berbagi dengan santriwati lain? Bagaimana bisa berkembang jika mereka tidak leluasa untuk keluar menghadiri atau menonton pameran-pameran seni? Bagaimana bisa tumbuh jika mereka harus membagi konsentrasi antara belajar seni dan belajar agama?

Dalam penelusuran lebih lanjut, ternyata para perupa perempuan pesantren ini bukan hanya berhadapan dengan keterbatasan ruang fisik, tapi juga pandangan yang tidak terlalu mendukung dunia yang mereka geluti. Seni sebagai disiplin ilmu atau pun profesi di pesantren dianggap sebagai kegiatan yang sangat minor. Perbuatan yang sia-sia dan buang waktu. Peringkatnya berada jauh di bawah disiplin dan profesi lain. Sungguh merana nasib seni(man). Dalam kegiatan-kegiatan pesantren, mereka didudukkan sebagai panitia bagian dekorasi, dan kurang lebih semacam dekorasi itulah fungsi seni dilihat, dibayangkan dan dipahami.

Di bagian lain, kadang seni dipandang sebagai perbuatan yang buruk. Seniman adalah makhluk yang keliru jalan karena mereka melakukan suatu perbuatan yang ingin menandingi kekuasaan Tuhan. Pandangan ini terutama diarahkan agar perupa tidak menggambar makhluk hidup, karena kelak Tuhan akan menuntut mereka untuk meniupkan nafas ke dalam gambar makhluk tersebut agar bisa hidup. Ternyata mereka tidak sanggup, maka terpaparlah mereka dalam siksa karena tindakan menandingi kuasa Tuhan.

Namun seniman adalah makhluk kreatif. Tembok beton tebal tidak akan menghalangi kreativitas mereka. Ruang dan waktu yang terbatas tak membuat mereka malas dan menyerah. Mereka selalu punya cara dan strategi untuk mensiasati keadaan, melawan keterbatasan, dan tetap bekerja untuk menghasilkan karya. Saya kira inilah yang dilakukan para perupa perempuan ini: Indah Fikriyyati, Luai Ihsani Fahmi, Novella, Adin Fahima Zulfa, dan Ittaqi Fawzia (Qifa). Karya mereka ditampilkan dalam Pameran “Takzir”, 22 – 24 Februari 2019 lalu di Panggung Krapyak, Yogyakarta.

Karya Indah Fikriyyati “Pada Sebuah Helai” sebagai contoh sangat memperlihatkan bagaimana strategi mensiasati keadaan dan keterbatasan ini. Indah melukis perempuan tanpa wajah, matahari dengan cahayanya, rumah yang sepi, bunga, bintang yang cerah dan lain-lain dalam sapuan-sapuan halus dan lembut, dengan warna yang kadang cerah, kadang muram. Lukisan-lukisan itu adalah tanggapan, pertanyaan, protes, teriakan, gumam dan lainnya dari Indah terhadap situasi dan keadaan sekitar. Misal tanggapannya terhadap ta’zir dan pandangan bahwa melukis figuratif itu bisa membahayakan iman. Indah mengekspresikan semua itu di atas kertas A4 dan A5 dengan menggunakan cat air.

Saya membayangkan setelah melukis ini, Indah akan menyimpan karya-karyanya itu dalam sebuah map, seperti orang menutup catatan harian yang baru ditulisnya. Melalui karya-karya dalam map itu ia mendekap kegembiraan, rasa marah, dan segala bentuk kenangannya.

Ia memanfaatkan bahan yang sederhana: kertas kwarto dan cat air. Tapi kesederhanaan itu tak menutup kenyataan bahwa karya ini sangat kuat dan bertenaga. Bayangkanlah satu atau dua dari lukisan di atas 30an kertas kwarto itu dipindahkan ke kanvas lebih besar. Akan muncul sebuah karya yang menarik dan indah.

Dan Indah membuka map, mengeluarkan lukisan-lukisan di atas kertas kwarto yang berjumlah 30an tersebut. Kertas-kertas akan digantung secara acak dan beraturan. Bentuknya akan mengingatkan pada kemeriahan warna-warni jemuran pakaian di bagian-bagian nyelempit dari asrama pondok. Indah membagikan perasaan, pengalaman, kenangannya.

Karya Adin dan Qifa “Kontemplasi” berupa sebuah video hitam putih tentang bagaimana pertama kali seorang remaja perempuan memasuki dunia pesantren. Masuk ke pesantren berarti sebuah proses peralihan dari dunia yang bebas ke dunia yang terbatas, dunia ramai ke dunia hening. Sudut-sudut gambar yang diambil memperlihatkan mata seorang yang baru memasuki sebuah ruang yang asing: ia melihat tangga, sandal-sandal, jemuran, kasur, rak buku, dan lorong. Lalu sehimpunan para perempuan yang sedang mengaji, dan akhirnya ia bergabung dalam himpunan itu.

Seperti Indah, Adin dan Qifa memanfaatkan teknologi video, media yang mudah dan murah. Tetapi bukan berarti dengan itu mereka bisa menampilkan karya seeenaknya. Tanpa konsep yang matang dan kuat, video hanyalah deretan gambar tak bermakna. Orang yang sehari-hari di pesantren mungkin hanya akan melihat lingkungan sekitarnya dipindahkan ke dalam gambar bergerak. Orang yang belum pernah ke pesantren mungkin akan melihat hal-hal yang tidak seluruhnya baru baginya.

Dalam bagian-bagian pertama dari video, kita seperti ditunjukkan bahwa pesantren tak lebih dari sebuah pondokan: ada jemuran, kasur, sandal dan lain-lain.

Tetapi bagian kedua, gambar beralih ke sosok yang menunjukkan bahwa pesantren bukan sekadar pondokan. Pesantren adalah tempat belajar, sarana pendewasaan dan pematangan diri, dan akhirnya sebuah ruang kontemplasi yang besar. Seperti sebuah gelas yang tadinya kosong, seseorang yang keluar dari pesantren akan seperti gelas yang telah terisi dengan air yang bening.

Sayang saya tak sempat melihat karya dua perupa yang lain: Luai Ihsani Fahmi dan Novella. Tapi saya punya keyakinan bahwa karya kedua orang perupa perempuan pesantren ini tak kalah menariknya. Asumsi saya sederhana, karena keduanya berada dalam lingkungan dan atmosfir tiga teman lainnya. Karya yang baik lahir dari atmosfir perkawanan dan sekaligus persaingan yang sehat.

Saya berharap kelak setelah mereka keluar dari pesantren, kelima perupa perempuan ini tetap terus berkarya. Pengalaman mereka tinggal dan hidup dalam dunia pesantren akan menjadi sumber penciptaan yang tak akan pernah habisnya. Wawasan dan pengetahuan mereka sebagai santri akan memperkaya dan mempertajam perspektif dan konsep karya yang akan ditampilkan. Tidak semua orang pernah menjalani hidup di pesantren, dan pengalaman itu sangat berharga sekali.

 

Dikutip dari laman alif.id.

Label: